Ekonomi Islam Sebagai Instrumen Pemecah Masalah Ekonomi
Pendahuluan
Ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas, tapi dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas, menjadi suatu kajian sekaligus inti masalah ekonomi. Apabila hal ini terjadi terus, maka yang kemudian akan timbul adalah kelangkaan (scarcity). Alat pemuas kebutuhan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kita. Begitupun sebaliknya, kebutuhan manusia yang tidak terbatas meningkat lebih cepat dibanding alat pemuas kebutuhan.
Beberapa negara menggunakan suatu sistemnya sendiri dalam memecahkan inti masalah ekonomi ini. Selain sebagai alat pemecah masalah ekonomi, sistem ekonomi tersebut menjadi instrumen dalam menjalankan perekonomian negara. Ada 2 sistem ekonomi besar yang terdapat di dunia, yaitu sistem ekonomi Sosialis dan sistem ekonomi Liberal.
Sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi dimana peran pemerintah sangat dominan dan berpengaruh dalam mengendalikan perekonomian. Berpijak pada konsep Karl Marx tentang penghapusan kepemilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak, seperti air, listrik, bahan pangan, dan sebagainya. Ciri-ciri sistem ekonomi ini adalah (i) semua alat dan sumber produksi dikuasai oleh negara, (ii) hak milik perseorangan tidak diakui, (iii) tidak bebas memilih pekerjaan, (iv) kebijakan ekonomi diatur oleh pemerintah.
Sistem ekonomi sosialis pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Meskipun dalam mekanismenya masih ada campur tangan pemerintah namun hanya sebatas pada regulator.
Sosialisme, yang hampir sama dengan sekulerisme dalam pandangannya tentang hidup, memiliki ketidakpercayaan terhadap kemampuan manusia untuk bertindak dalam kerangka kepentingan sosial. Oleh karena itu, muncullah kebutuhan untuk mengawasi kebebasan dan menghilangkan hak milik pribadi juga motif keuntungan melalui kepemilikan oleh negara untuk semua jenis produksi dan perencanaan pusat agar tercapai efisiensi dan kepantasan dalam pemamfaatan sumber-sumber daya.
Akan tetapi, penghilangan keuntungan sebagai reward langsung atas usaha perorangan menurunkan inisiatif dan efisiensi, yang keduanya dibutuhkan untuk pertumbuhan. Pembuatan keputusan yang terpusat juga membuat transfer dari sumber-sumber daya lambat dan kaku dan membuat semua alat produksi menjadi tidak efisien.
Oleh karena itu kemunculan perestroika pada sebagian besar negara-negara sosialis merupakan sebuah gerakan untuk memperkenalkan kembali keuntungan pribadi, harga yang realistis dan beberapa unsur lain dalam sistem pasar guna efisiensi yang lebih besar dalam alokasi sumber-sumber daya tersebut.
Pertanyaan mendasar masih tersisa disini: jika manusia tidak dapat dipercaya untuk mengelola bisnis swastanya dalam batasan kehidupan sosial manusia itu, bagiamana mereka dapat mengelola semua aset produksi bangsa untuk tujuan ini? Bukankah pemerintah berasal dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipercaya itu? Jika demikian, apakah jaminan bahwa mereka tidak akan mengeksploitasi kekuasaan yang dijalankan melalui penempatan semua aset produksi dalam komando mereka.
Maka kemudian, inilah yang menyebabkan sistem ekonomi sosisalis hancur. Pengeksploitasian kekuasaan terhadap sumber-sumber produksi negara—dengan menganggap melalui sikap ketidakpercayaan bahwa perseorangan tidak bisa mengelola aset-aset produksi—menjadikan situasi monopoli yang luar biasa.
Sistem ekonomi liberal yaitu sistem ekonomi dimana kegiatan ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi dilakukan oleh pihak swasta. Diuraikan oleh tokoh-tokoh penemu liberal klasik seperti Adam Smith dan French Physiocrats. Konsep dari ekonomi liberal ialah bergerak kearah suatu sistem ekonomi pasar bebas dan sistem berpaham perdagangan bebas.
Ciri-ciri sistem ekonomi ini yaitu (i) semua sumber produksi milik masyarakat, (ii) pemerintah tidak campur tangan langsung, (iii) timbul persaingan dalam masyarakat, (iv) selalu berorientasi mencari keuntungan.
Sistem ekonomi liberal telah menjadi primadona pemecah masalah ekonomi selama bertahun-tahun—setelah hancurnya sistem ekonomi sosialis. Kebebasan individu sangat didukung dengan kreatifitas masing-masing pelaku produksi. Varian-varian baru pun tak pelak muncul. Para player of economics state ini bebas dalam mengembangkan dan memiliki alat-alat produksi. Hasilnya, menimbulkan barang dan jasa bermutu tinggi, efisiensi serta efektifitas pun semakin tinggi.
Dibalik itu semua, hal ini juga berdampak pada tidak meratanya pemerataan pendapatan. Bahasa mudahnya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Fenomena tersebut disebabkan hanya segelintir orang saja yang mampu mengelola unit-unit produksi untuk menghasilkan profit dan manfaat. Orang yang tidak mampu akan tergilas oleh persaingan yang ketat.
Amerika Serikat—yang sistem ekonominya liberal—saat ini tengah mengalami krisis ekonomi hebat. Hal ini berimbas pada negara-negara di Eropa dan Asia. Banyak perusahaan-perusahaan besar di Amerika yang collapse. Akibatnya, banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK oleh perusahaan yang collapse itu.
Penyebabnya adalah bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.
Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.
Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.
Kedua sistem ekonomi tersebut diatas ternyata belum mampu untuk memecahkan permasalahan ekonomi dan sekaligus belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, krisis ekonomi dunia saat ini menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis/liberal (Direktur Bank Dunia, Robert Zoellick). Oleh karena itu, sudah saatnya kita harus mencari sistem ekonomi baru dalam menghadapi krisis ekonomi saat ini dan tentunya secara otomatis juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembahasan
I. Ekonomi Islam: Sebuah Prolog
Saat ini, ekonomi Islam sering disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai pemecah masalah krisis ekonomi yang tengah melanda dunia saat ini. Jenis kajian ilmu ekonomi ini berlandaskan syariat-syariat agama Islam yang tertuang dalam kitab suci Al Qur’an dan hadits. Sesungguhnya, yang membuat kajian ekonomi ini adalah Allah SWT. Semua aturan dan prosedur dalam melakukan kegiatan ekonomi serta segala tetek bengeknya, diatur dalam kitab Al Qur’an yang merupakan perwujudan firman Allah SWT. Ekonomi Islam saat ini telah menjelma menjadi suatu sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan ekonomi.
Teori ekonomi Islam sebenarnya bukan ilmu baru atau sesuatu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi yang ada sekarang. Sejarah membuktikan para pemikir Islam merupakan penemu atau peletak dasar semua bidang ilmu. Para ekonom muslim sendiri mengakui, mereka banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles (367-322 SM) sebagi filsuf yang banyak menulis masalah ekonomi. Namun, mereka tetap menjadikan Al Qur’an dan hadits sebagai rujukan utama dalam menulis teori-teori ekonomi Islam.
Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam antara lain syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hiwala (letters of credit), dar-ut Tiraz (pabrik yang didirikan dan dijalankan negara) di Spanyol, Sicilia, Palermo, dan ma’una (sejenis private bank) dikenal di Barat sebagai Maona. Bahkan, buku The Wealth of Nations karya Adam Smith (1776 M) diduga banyak mendapat inspirasi dari buku al-Amwal-nya Abu Ubaid (838 M)—(Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., 2001:14)
Karakteristik sistem ekonomi Islam adalah (i) mendialektikkan nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, (ii) kebebasan berekonomi dan tidak menafikan intervensi negara, (iii) dualisme kepemilikan (Allah pemilik hakiki, dan harta kekayaan hanya titipan), (iv) menjaga kemaslahatan individu dan kemaslahatan bersama, (v) menghindari transaksi ribawi, dan (vi) menjadikan uang sebagai medium of exchange, bukan komoditi.
Jika sistem ekonomi liberal menonjolkan sifat individualisme dari manusia, kemudian sistem ekonomi sosialis pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus, yaitu (i) kesatuan (unity), (ii) keseimbangan (equilibrium), (iii) kebebasan (freedom), dan (iv) tanggungjawab (responsibility). Keempat sifat inilah yang menjadikan sistem ekonomi Islam begitu kuat.
II. Pentingnya Memahami Ekonomi Islam
Sesungguhnya, apa yang membuat ekonomi Islam saat ini banyak dielu-elukan oleh para ahli dalam usaha mengatasi krisis global sekarang ini? Pertanyaan ini akan saya jawab dengan penjabaran mengenai bagaimana sebenarnya ekonomi Islam itu dan mengapa ekonomi Islam itu begitu kuat serta stabil. Sehingga kita bisa lebih memahami sistem ekonomi ini serta mengapa penting kita harus memahami hal ini.
Pertama, sistem ekonomi Islam berbasis uang logam emas dan perak. Dalam ekonomi Islam digunakan uang logam yang mengandung emas (dinar) dan perak (dirham), bukan uang kertas seperti sistem ekonomi liberal dan sosialis. Dengan alat pembayaran berupa mata uang emas (dinar) dan perak (dirham) ini, tingkat inflasi yang didapat akan sangat kecil. Tidak berarti bahwa menggunakan dinar dan dirham ini bebas dari inflasi. Masih dapat terkena inflasi tapi sangat kecil sekali. Misalnya pada masa Rasulullah SAW, dengan uang 1 dinar (4,25 gram emas) orang dapat membeli seekor kambing dan dengan 1 dirham (2,975 gram perak) orang dapat membeli seekor ayam.
Merujuk pada kondisi saat ini, tahun 2009, dengan uang 1 dinar orang juga masih dapat membeli 1 ekor kambing dan dengan 1 dirham orang pun mampu membeli 1 ekor ayam. Inilah bukti sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang luar biasa. Sistem uang berbasis emas dan perak memiliki nilai intrinsik dan nominal yang sama. Karena nilai nominal dirham dan dinar ditentukan oleh berat logamnya yang sekaligus menjadi nilai intrinsiknya.
Inilah bukti keunggulan yang dimiliki dinar dan dirham tidak dimiliki oleh uang kertas. Jika dinar dan dirham mampu memperkokoh ekonomi karena tahan inflasi, uang kertas justru merapuhkan ekonomi karena sangat sensitif dengan inflasi.
Kedua, sistem ekonomi Islam tidak mengakui sektor non real yang berbasis bunga. Dalam Islam tidak ada bursa saham dan pasar modal yang di dalamnya diwarnai dengan aktivitas jual beli saham, obligasi dan berbagai komoditi tanpa adanya serah terima komoditi yang diperjualbelikan. Lebih lanjut, di dalam bursa saham dan pasar modal ini, bahkan komoditi tersebut dapat diperjualbelikan berkali-kali tanpa harus mengalihkannya dari pemilik asli. Model transaksi semacam ini adalah batil dalam pandangan Islam dan mampu menimbulkan banyak spekulasi yang berujung pada goncangan pasar.
Ketiga, Islam tidak mengenal riba dalam praktek perbankannya. Riba adalah menambah sesuatu berupa imbalan dalam transaksi ekonomi—dalam perbankan konvensional disebut bunga. Seperti suatu contoh satu dinar ditukar dengan dua dinar. Bunga di dalam perbankan dilarang oleh Islam. Praktik riba yang ada, akan mendudukkan pemiliknya sebagai sekedar pemilik. Ia memberikan pada diri pemilik atas kepemilikannya itu hak untuk melakukan pemerasan terhadap keringat, upaya atau darah orang lain. Menyebabkan pemilik harta itu untuk menikmati hasil jerih payah orang lain by doing nothing. Contoh nyata adalah orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, kemudian orang yang diberi pinjaman itu belum mampu membayar sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak. Maka, pemberi pinjaman lalu menambah waktu bagi peminjam untuk melunasi, namun dalam tempo pelunasan selanjutnya jumlah yang dibayarkan bertambah, karena pemberi pinjaman menyatakan bahwa pelunasan bisa diulur dengan syarat diberi bunga—sebagai konsekuensi penguluran waktu pelunasan tersebut. Ini yang disebut riba. Pemberi pinjaman mendapat hasil pelunasan yang lebih besar daripada yang dipinjamkan sebelumnya.
Dalam kehidupan ekonomi, riba merupakan bahaya. Diantaranya adalah (i) dapat menumbuhkan rasa permusuhan di antara individu, (ii) mendorong manusia untuk menimbun harta sambil menunggu pergerakan tingkat suku bunga, (iii) menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Artinya, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
Selain itu, sistem riba juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Realita yang ada, riba dapat menciptakan beberapa krisis yang pernah terjadi di dunia—sekarang menciptakan krisis yang melanda kapitalis (Amerika). Kemudian, mengakibatkan penyimpangan kegiatan produksi serta hanya memberikan kemaslahatan bagi para pelaku riba.
Seorang Yahudi pada tahun 1970 pernah mengatakan bahwa dengan adanya bunga, maka perputaran uang akan berpusat pada sekelompok orang saja. 80% dari uang yang ada berputar pada golongan mereka dan 20% untuk kelompok lainnya. Hal senada juga disampaikan oleh direktur bank di Jerman pada tahun 1953 di Damaskus. Dia mengatakan, dengan adanya mekanisme bunga, kekayaan akan berputar pada pelaku riba. Dalam sistem riba, pemilik uang akan selalu untung dalam setiap transaksi. Berbeda dengan peminjam, ia mempunyai potensi untung ataupun rugi. Dengan adanya bunga, dalam kalkulasi matematis akan kembali dan menguntungkan pemberi pinjaman dan ia akan selalu untung.
Oleh karena itu, Islam sangat tidak menyukai praktik riba bagaimanapun bentuknya. Hal tersebut akan merugikan diri sendiri dan orang lain, yang dalam hal ini pelaku ekonomi serta perekonomian itu sendiri. Sekali lagi, ekonomi Islam tidak mengenal sistem riba serta segala macam praktiknya.
Penutup
Krisis ekonomi global menyebabkan kesejahteraan masyarakat menurun. Banyak orang di-PHK karena perusahaan yang menaungi para pekerja itu collapse. Sistem ekonomi saat ini tidak mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, apa lagi yang kita harapkan dari sistem ekonomi saat ini yang tidak menyejahterakan masyarakat—bahkan bukan menjadi solusi dalam krisis saat ini. Ekonomi Islam telah terbukti dan terlihat performanya yang baik dalam mengatasi krisis, juga menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini. Ekonomi Islam sangat pro terhadap kesejahteraan seluruh manusia, dalam hal ini semua pelaku ekonomi. Sistem ekonomi Islam tidak menguntungkan salah satu pihak saja—seperti sistem ekonomi liberal, juga tidak menekan kebebasan pelaku ekonomi—seperti sistem ekonomi sosialis.
Ekonomi Islam saat ini (bisa) menjadi instrumen pemecah masalah ekonomi juga sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari ketiga penjabaran tersebut di atas, kiranya cukup dapat membuktikan bahwa ekonomi Islam itu sangat kuat dan stabil dalam menghadapi krisis saat ini. Memahami ekonomi Islam sekarang begitu penting, karena kita memang butuh suatu instrumen ekonomi baru untuk membereskan masalah krisis ekonomi global ini.
Dengan sistem mata uang dinar dan dirham, ekonomi Islam mampu bertahan dari laju inflasi. Mata uang ini sangat tidak rentan terhadap inflasi. Dinar dan dirham mampu meminimalisir tekanan inflasi yang menerpanya. Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana jika sistem mata uang emas (dinar) dan perak (dirham)—dahulu digunakan pada zaman Rasulullah ini—diterapkan pada zaman sekarang?
Hal ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Mengaitkan nilai mata uang dengan nilai emas dan perak bukanlah hal yang sama sekali baru dalam ekonomi konvensional sekalipun. Ketika Perang Dunia II selesai dan Eropa tinggal puing-puing, Amerika Serikat (AS) mengambil inisiatif mendirikan International Bank of Reconstruction & Development (kini World Bank) untuk membangun kembali Eropa. Uangnya tentu saja dolar AS yang dapat ditukarkan dengan sepersekian gram emas. Dengan makin banyaknya dolar baru dicetak, seharusnya cadangan emas Federal Reserve AS juga meningkat. Namun, tidak demikian keadaannya. Apa boleh buat, lama kelamaan AS tidak lagi mampu mempertahankan sistem nilai dolar yang dikaitkan dengan standar emas. Itulah yang terjadi pada 1971, ketika Presiden Nixon mengumumkan lepasnya dolar dari standar emas dan berakhirnya Bretton Wood System.
Lebih lanjut, mengenai sektor non real. Walaupun perekonomian Islam sangat terbuka terhadap perekonomian global, tetap dampak negatif gejolak perekonomian global tidak dirasakan. Sebab, Islam dengan keras menolak segala jenis transaksi maya (melalui sektor non real seperti bursa saham dan pasar modal/pasar uang). Uang bukan komoditas. Praktek penggandaan uang dan spekulasi dilarang. Dengan penolakan ini, ekonomi Islam mampu mengatasi goncangan pasar.
Sistem perbankan Islam menjadikan suatu tatanan kehidupan yang jujur dan menciptakan suasana yang tidak monopolis. Hal ini juga menutup gap antara yang kaya dan miskin. Yang kaya tidak bisa lagi semakin kaya dan yang miskin tidak akan semakin miskin. Semuanya sama rata.
Seluruh negara di dunia harus mencermati perkembangan ekonomi Islam sekarang ini. Hal ini penting karena, sekali lagi, sudah bukan saatnya menerapkan sistem ekonomi liberal apalagi sosialis. Kesejahteraan masyarakat bisa lebih baik dengan diterapkannnya sistem ekonomi Islam.
Daftar Pustaka
1. Al Mishri, Abdul Sami’. 1990. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Dimyaudin Djuwaini. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
3. dkk, Nur Jaka. 2007. Intisari Ekonomi untuk SMA. Bandung: CV. Pustaka Setia.
4. Mubyarto. 2002. “Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia”(online), (http://www.ekonomirakyat.org/penerapan-ajaran-ekonomi-islam-di- indonesia.html/), diakses 24 April 2009.
5. Hanin Mazaya. 2008. “Robert Zoellick : Sistem Ekonomi Kapitalis Dunia Gagal”(online), (http://www.arrahmah.com/robert-zoellick-:-sistem-ekonomi- kapitalis-dunia-gagal.html/), diakses 25 April 2009.
6. Adi Wijaya. 2008. “Opini: Sistem Ekonomi Islam VS Sistem Ekonomi Kapitalis”(online), (http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2008/10/31/opini-sistem-ekonomi- islam-vs-sistem-ekonomi-kapitalis/), diakses 25 April 2009.
Politik Ekonomi Islam dalam Mengatasi Krisis Dunia
OPINI | 26 February 2011 | 14:44 81 0 Nihil
________________________________________
Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ‘pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.
Penyebab Utama Krisis
Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).
Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Agustianto, 2007).
Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun.
Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Sistem Ekonomi Islam Menjawab Segala Permasalahan
Sistem ekonomi Islam tidak sama dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Ia berbeda dengan sistem ekonomi yang lain. Ia bukan dari hasil ciptaan akal manusia seperti sistem kapitalis dan komunis. Ia adalah berpandukan wahyu dari Allah SWT.
Tiga Asas Sistem Ekonomi Islam
Dengan melakukan istiqra’ (penelahaan induktif) terhadap hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi (an-nizham al-iqtishady) dalam Islam mencakup pembahasan yang menjelaskan bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa), bagaimana mengelola (mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut, serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada.
Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kepemilikan harta kekayaan, bagaimana mengelola kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Atas dasar pandangan di atas, maka menurut Zallum (1983), Az-Zain (1981), An-Nabhaniy (1990), dan Abdullah (1990), asas-asas yang membangun sistem ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas, yakni :
(1)bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2)bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3)bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
Asas Pertama : Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan adalah izin As-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat (benda) tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam. Minuman keras dan babi, misalnya, dalam pandangan ekonomi kapitalis memang boleh dimiliki, karena zat bendanya memberikan manfaat-manfaat. Tetapi menurut Islam, minuman keras dan babi tidak boleh dimiliki, karena Allah SWT tidak memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya.
Makna Kepemilikan
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
‘Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.’ (QS. An-Nuur : 33)
Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah maka sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memiliki dan menguasai harta tersebut. Sebagaimana firman-Nya :
‘Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. ‘(QS. Al-Hadid : 7)
‘Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.’ (QS. Nuh : 12)
Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan ‘Maalillah’ (harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya :
‘Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. ‘(QS. An-Nisaa’ : 6)
‘Ambillah dari harta-harta mereka. ‘(QS. Al-Baqarah : 279)
‘Dan harta-harta yang kalian usahakan.’ (QS. At-Taubah : 24)
‘Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.’ (QS. Al-Lail :11)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
Oleh karena itu, Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan melarang memiliki zat yang lain. Allah SWT juga telah memberikan izin terhadap beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Allah SWT melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Tetapi Allah SWT memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan menghalalkannya, disamping melarang dan mengharamkan riba.
Macam-Macam Kepemilikan
Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990) mengemukakan bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). Kepemilikan individu (private property); (2) kepemilikan umum (collective property); dan (3) kepemilikan negara (state property).
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli). Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk mempertahankan hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan kesulitan hidup dan masyarakat akan berpencar ke sana kemari mencarinya
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari lbnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:
‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.’(HR. Abu Daud)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan : “wa tsamanuhu haram” (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan. lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :
‘Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.’ (HR. Ibnu Majah).
Dalam hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan air, padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk memilikinya. Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum adalah adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan umum masyarakat. Namun jika jumlahnya terbatas seperti sumur-sumur kecil di perkampungan dan sejenisnya, maka dapat dimiliki oleh individu dan dalam kondisi demikian air sumur tersebut merupakan milik individu. Rasulullah saw telah membolehkan air di Thaif dan Khaibar untuk dimiliki oleh individu-individu penduduk.
Oleh karena itu jelaslah, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri, maka komunitas tersebut akan bercerai-berai guna mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum.
b. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum (kelompok pertama di atas). Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, meskipun dalil hadits pada poin a di atas bisa diberlakukan pada kelompok b ini, yaitu sama-sama sebagai fasilitas umum, tetapi benda-benda kelompok kedua ini tidak bisa dimiliki individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
c. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar : Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.’ Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya yang sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hamal yang menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun tatkala beliau mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat besar), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Ketetapan hukum ini, yakni ketetapan bahwa tambang yang sangat besar jumlahnya adalah milik umum, meliputi semua tambang, baik tambang yang nampak yang bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan oleh manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal tambang garam, tambang batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi, yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah payah, semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, bauksit, marmer, dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak bumi, maka semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
3). Kepemilikan Negara (state properti)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Sebagai contoh terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan lain-lain tidak boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj yang boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain tidak. Juga dibolehkan harta kharaj dipergunakan untuk keperluan belanja negara saja tanpa dibagikan kepada seorangpun.
Asas Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) –yang berupa hukum-hukum syara’– yang wajib dipegang seorang muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah, 1990).
Mengapa seorang muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy Syari’ (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara’.
Walhasil, setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta yang telah dimilikinya tersebut seorang ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.
Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul mal).
1) Pembelanjaan Harta
Pembelanjaan harta (infaqul mal) adalah pemberian harta tanpa adanya kompensasi (An-Nabhani, 1990). Dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah. Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2) Pengembangan Harta
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba, judi, serta aktivitas terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari’ juga telah memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Asas Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak.
Oleh karena itu, syara’ melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
‘Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.’ (QS. Al-Hasyr : 7)
Di samping itu syara’ juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak (harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
‘Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.’ (QS. At-Taubah : 34)
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk). Berbagai cara dala mekanisme ekonomi ini, antara lain :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu (misalnya, bekerja di sektor pertanian, industru, dan perdagangan)
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi (misalnya, dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya).
3. Larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu saja misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan.
5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa. Semua ini ujung-ujungnya akan mengakumulasikan kekayaan pada pihak yang kuat semata (seperti penguasa atau konglomerat).
7. Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Mekanisme Non-Ekonomi
Mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, melainkan melalui aktivitas non-produktif, misalnya pemberian (hibah, shadakah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi. Yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata.
Mekanisme non-ekonomi diperlukan baik karena adanya sebab-sebab alamiah maupun non-alamiah. Sebab alamiah misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan bisa tidak berjalan karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjut, bisa memicu munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi sosial.
Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan karena adanya sebab-sebab non-alamiah, yaitu adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi ini jika dibiarkan akan bisa menimbulkan ketimpangan distribusi kekayaan. Bila penyimpangan terjadi, negara wajib menghilangkannya. Misalnya jika terjadi monopoli, hambatan masuk (barrier to entry) –baik administratif maupun non-adminitratif– dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan oleh negara.
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi antara lain adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
Demikianlah gambaran sekilas tentang asas-asas sistem ekonomi Islam. Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian seluruh aspek yang dikemukakan di atas perlu dilakukan. Wallahu a’lam bishawab.[ ]
http://politik.kompasiana.com/2011/02/26/politik-ekonomi-islam-dalam-mengatasi-krisis-dunia/
Pendahuluan
Ekonomi sebagai ilmu yang mempelajari segala tindakan manusia dalam memenuhi kebutuhannya yang tidak terbatas, tapi dengan alat pemuas kebutuhan yang terbatas, menjadi suatu kajian sekaligus inti masalah ekonomi. Apabila hal ini terjadi terus, maka yang kemudian akan timbul adalah kelangkaan (scarcity). Alat pemuas kebutuhan tidak mencukupi untuk memenuhi kebutuhan kita. Begitupun sebaliknya, kebutuhan manusia yang tidak terbatas meningkat lebih cepat dibanding alat pemuas kebutuhan.
Beberapa negara menggunakan suatu sistemnya sendiri dalam memecahkan inti masalah ekonomi ini. Selain sebagai alat pemecah masalah ekonomi, sistem ekonomi tersebut menjadi instrumen dalam menjalankan perekonomian negara. Ada 2 sistem ekonomi besar yang terdapat di dunia, yaitu sistem ekonomi Sosialis dan sistem ekonomi Liberal.
Sistem ekonomi sosialis adalah sistem ekonomi dimana peran pemerintah sangat dominan dan berpengaruh dalam mengendalikan perekonomian. Berpijak pada konsep Karl Marx tentang penghapusan kepemilikan hak pribadi, prinsip ekonomi sosialisme menekankan agar status kepemilikan swasta dihapuskan dalam beberapa komoditas penting dan menjadi kebutuhan masyarakat banyak, seperti air, listrik, bahan pangan, dan sebagainya. Ciri-ciri sistem ekonomi ini adalah (i) semua alat dan sumber produksi dikuasai oleh negara, (ii) hak milik perseorangan tidak diakui, (iii) tidak bebas memilih pekerjaan, (iv) kebijakan ekonomi diatur oleh pemerintah.
Sistem ekonomi sosialis pada saat ini sudah tidak digunakan lagi. Meskipun dalam mekanismenya masih ada campur tangan pemerintah namun hanya sebatas pada regulator.
Sosialisme, yang hampir sama dengan sekulerisme dalam pandangannya tentang hidup, memiliki ketidakpercayaan terhadap kemampuan manusia untuk bertindak dalam kerangka kepentingan sosial. Oleh karena itu, muncullah kebutuhan untuk mengawasi kebebasan dan menghilangkan hak milik pribadi juga motif keuntungan melalui kepemilikan oleh negara untuk semua jenis produksi dan perencanaan pusat agar tercapai efisiensi dan kepantasan dalam pemamfaatan sumber-sumber daya.
Akan tetapi, penghilangan keuntungan sebagai reward langsung atas usaha perorangan menurunkan inisiatif dan efisiensi, yang keduanya dibutuhkan untuk pertumbuhan. Pembuatan keputusan yang terpusat juga membuat transfer dari sumber-sumber daya lambat dan kaku dan membuat semua alat produksi menjadi tidak efisien.
Oleh karena itu kemunculan perestroika pada sebagian besar negara-negara sosialis merupakan sebuah gerakan untuk memperkenalkan kembali keuntungan pribadi, harga yang realistis dan beberapa unsur lain dalam sistem pasar guna efisiensi yang lebih besar dalam alokasi sumber-sumber daya tersebut.
Pertanyaan mendasar masih tersisa disini: jika manusia tidak dapat dipercaya untuk mengelola bisnis swastanya dalam batasan kehidupan sosial manusia itu, bagiamana mereka dapat mengelola semua aset produksi bangsa untuk tujuan ini? Bukankah pemerintah berasal dari kelompok masyarakat yang tidak dapat dipercaya itu? Jika demikian, apakah jaminan bahwa mereka tidak akan mengeksploitasi kekuasaan yang dijalankan melalui penempatan semua aset produksi dalam komando mereka.
Maka kemudian, inilah yang menyebabkan sistem ekonomi sosisalis hancur. Pengeksploitasian kekuasaan terhadap sumber-sumber produksi negara—dengan menganggap melalui sikap ketidakpercayaan bahwa perseorangan tidak bisa mengelola aset-aset produksi—menjadikan situasi monopoli yang luar biasa.
Sistem ekonomi liberal yaitu sistem ekonomi dimana kegiatan ekonomi produksi, distribusi, dan konsumsi dilakukan oleh pihak swasta. Diuraikan oleh tokoh-tokoh penemu liberal klasik seperti Adam Smith dan French Physiocrats. Konsep dari ekonomi liberal ialah bergerak kearah suatu sistem ekonomi pasar bebas dan sistem berpaham perdagangan bebas.
Ciri-ciri sistem ekonomi ini yaitu (i) semua sumber produksi milik masyarakat, (ii) pemerintah tidak campur tangan langsung, (iii) timbul persaingan dalam masyarakat, (iv) selalu berorientasi mencari keuntungan.
Sistem ekonomi liberal telah menjadi primadona pemecah masalah ekonomi selama bertahun-tahun—setelah hancurnya sistem ekonomi sosialis. Kebebasan individu sangat didukung dengan kreatifitas masing-masing pelaku produksi. Varian-varian baru pun tak pelak muncul. Para player of economics state ini bebas dalam mengembangkan dan memiliki alat-alat produksi. Hasilnya, menimbulkan barang dan jasa bermutu tinggi, efisiensi serta efektifitas pun semakin tinggi.
Dibalik itu semua, hal ini juga berdampak pada tidak meratanya pemerataan pendapatan. Bahasa mudahnya, yang kaya semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin. Fenomena tersebut disebabkan hanya segelintir orang saja yang mampu mengelola unit-unit produksi untuk menghasilkan profit dan manfaat. Orang yang tidak mampu akan tergilas oleh persaingan yang ketat.
Amerika Serikat—yang sistem ekonominya liberal—saat ini tengah mengalami krisis ekonomi hebat. Hal ini berimbas pada negara-negara di Eropa dan Asia. Banyak perusahaan-perusahaan besar di Amerika yang collapse. Akibatnya, banyak orang yang kehilangan pekerjaan karena di-PHK oleh perusahaan yang collapse itu.
Penyebabnya adalah bermula dari macetnya kredit perumahan di Amerika karena ternyata para pemilik rumah memang tak mampu membayar cicilan kredit. Kemacetan itu merembet ke mana-mana, terutama menimbulkan krisis keuangan di Amerika, dan kemudian berdampak ke berbagai belahan dunia.
Di Amerika, krisis ini menyebabkan harga rumah turun sampai 16%, angka pengangguran meningkat bersama meningkatnya angka pemutusan hubungan kerja (PHK) oleh perusahaan-perusahaan yang terguncang krisis. Penjualan rumah macet.
Maka berbagai lembaga keuangan raksasa yang bangkrut, seperti disebut di atas, umumnya adalah perusahaan yang terlibat dalam pemberian kredit, penjaminan kredit, dan asuransi kredit perumahan subprime mortgage.
Kedua sistem ekonomi tersebut diatas ternyata belum mampu untuk memecahkan permasalahan ekonomi dan sekaligus belum mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Bahkan, krisis ekonomi dunia saat ini menunjukkan kegagalan sistem ekonomi kapitalis/liberal (Direktur Bank Dunia, Robert Zoellick). Oleh karena itu, sudah saatnya kita harus mencari sistem ekonomi baru dalam menghadapi krisis ekonomi saat ini dan tentunya secara otomatis juga meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pembahasan
I. Ekonomi Islam: Sebuah Prolog
Saat ini, ekonomi Islam sering disebut-sebut oleh banyak kalangan sebagai pemecah masalah krisis ekonomi yang tengah melanda dunia saat ini. Jenis kajian ilmu ekonomi ini berlandaskan syariat-syariat agama Islam yang tertuang dalam kitab suci Al Qur’an dan hadits. Sesungguhnya, yang membuat kajian ekonomi ini adalah Allah SWT. Semua aturan dan prosedur dalam melakukan kegiatan ekonomi serta segala tetek bengeknya, diatur dalam kitab Al Qur’an yang merupakan perwujudan firman Allah SWT. Ekonomi Islam saat ini telah menjelma menjadi suatu sistem yang kuat untuk mengatasi permasalahan ekonomi.
Teori ekonomi Islam sebenarnya bukan ilmu baru atau sesuatu yang diturunkan secara mendasar dari teori ekonomi yang ada sekarang. Sejarah membuktikan para pemikir Islam merupakan penemu atau peletak dasar semua bidang ilmu. Para ekonom muslim sendiri mengakui, mereka banyak membaca dan dipengaruhi oleh tulisan-tulisan Aristoteles (367-322 SM) sebagi filsuf yang banyak menulis masalah ekonomi. Namun, mereka tetap menjadikan Al Qur’an dan hadits sebagai rujukan utama dalam menulis teori-teori ekonomi Islam.
Beberapa institusi ekonomi yang ditiru oleh Barat dari dunia Islam antara lain syirkah (serikat dagang), suftaja (bills of exchange), hiwala (letters of credit), dar-ut Tiraz (pabrik yang didirikan dan dijalankan negara) di Spanyol, Sicilia, Palermo, dan ma’una (sejenis private bank) dikenal di Barat sebagai Maona. Bahkan, buku The Wealth of Nations karya Adam Smith (1776 M) diduga banyak mendapat inspirasi dari buku al-Amwal-nya Abu Ubaid (838 M)—(Ir. H. Adiwarman A. Karim, S.E., M.B.A., M.A.E.P., 2001:14)
Karakteristik sistem ekonomi Islam adalah (i) mendialektikkan nilai-nilai spiritualisme dan materialisme, (ii) kebebasan berekonomi dan tidak menafikan intervensi negara, (iii) dualisme kepemilikan (Allah pemilik hakiki, dan harta kekayaan hanya titipan), (iv) menjaga kemaslahatan individu dan kemaslahatan bersama, (v) menghindari transaksi ribawi, dan (vi) menjadikan uang sebagai medium of exchange, bukan komoditi.
Jika sistem ekonomi liberal menonjolkan sifat individualisme dari manusia, kemudian sistem ekonomi sosialis pada kolektivisme, maka Islam menekankan empat sifat sekaligus, yaitu (i) kesatuan (unity), (ii) keseimbangan (equilibrium), (iii) kebebasan (freedom), dan (iv) tanggungjawab (responsibility). Keempat sifat inilah yang menjadikan sistem ekonomi Islam begitu kuat.
II. Pentingnya Memahami Ekonomi Islam
Sesungguhnya, apa yang membuat ekonomi Islam saat ini banyak dielu-elukan oleh para ahli dalam usaha mengatasi krisis global sekarang ini? Pertanyaan ini akan saya jawab dengan penjabaran mengenai bagaimana sebenarnya ekonomi Islam itu dan mengapa ekonomi Islam itu begitu kuat serta stabil. Sehingga kita bisa lebih memahami sistem ekonomi ini serta mengapa penting kita harus memahami hal ini.
Pertama, sistem ekonomi Islam berbasis uang logam emas dan perak. Dalam ekonomi Islam digunakan uang logam yang mengandung emas (dinar) dan perak (dirham), bukan uang kertas seperti sistem ekonomi liberal dan sosialis. Dengan alat pembayaran berupa mata uang emas (dinar) dan perak (dirham) ini, tingkat inflasi yang didapat akan sangat kecil. Tidak berarti bahwa menggunakan dinar dan dirham ini bebas dari inflasi. Masih dapat terkena inflasi tapi sangat kecil sekali. Misalnya pada masa Rasulullah SAW, dengan uang 1 dinar (4,25 gram emas) orang dapat membeli seekor kambing dan dengan 1 dirham (2,975 gram perak) orang dapat membeli seekor ayam.
Merujuk pada kondisi saat ini, tahun 2009, dengan uang 1 dinar orang juga masih dapat membeli 1 ekor kambing dan dengan 1 dirham orang pun mampu membeli 1 ekor ayam. Inilah bukti sistem ekonomi Islam adalah sistem ekonomi yang luar biasa. Sistem uang berbasis emas dan perak memiliki nilai intrinsik dan nominal yang sama. Karena nilai nominal dirham dan dinar ditentukan oleh berat logamnya yang sekaligus menjadi nilai intrinsiknya.
Inilah bukti keunggulan yang dimiliki dinar dan dirham tidak dimiliki oleh uang kertas. Jika dinar dan dirham mampu memperkokoh ekonomi karena tahan inflasi, uang kertas justru merapuhkan ekonomi karena sangat sensitif dengan inflasi.
Kedua, sistem ekonomi Islam tidak mengakui sektor non real yang berbasis bunga. Dalam Islam tidak ada bursa saham dan pasar modal yang di dalamnya diwarnai dengan aktivitas jual beli saham, obligasi dan berbagai komoditi tanpa adanya serah terima komoditi yang diperjualbelikan. Lebih lanjut, di dalam bursa saham dan pasar modal ini, bahkan komoditi tersebut dapat diperjualbelikan berkali-kali tanpa harus mengalihkannya dari pemilik asli. Model transaksi semacam ini adalah batil dalam pandangan Islam dan mampu menimbulkan banyak spekulasi yang berujung pada goncangan pasar.
Ketiga, Islam tidak mengenal riba dalam praktek perbankannya. Riba adalah menambah sesuatu berupa imbalan dalam transaksi ekonomi—dalam perbankan konvensional disebut bunga. Seperti suatu contoh satu dinar ditukar dengan dua dinar. Bunga di dalam perbankan dilarang oleh Islam. Praktik riba yang ada, akan mendudukkan pemiliknya sebagai sekedar pemilik. Ia memberikan pada diri pemilik atas kepemilikannya itu hak untuk melakukan pemerasan terhadap keringat, upaya atau darah orang lain. Menyebabkan pemilik harta itu untuk menikmati hasil jerih payah orang lain by doing nothing. Contoh nyata adalah orang yang memberikan pinjaman kepada orang lain, kemudian orang yang diberi pinjaman itu belum mampu membayar sesuai dengan jangka waktu yang telah disepakati kedua belah pihak. Maka, pemberi pinjaman lalu menambah waktu bagi peminjam untuk melunasi, namun dalam tempo pelunasan selanjutnya jumlah yang dibayarkan bertambah, karena pemberi pinjaman menyatakan bahwa pelunasan bisa diulur dengan syarat diberi bunga—sebagai konsekuensi penguluran waktu pelunasan tersebut. Ini yang disebut riba. Pemberi pinjaman mendapat hasil pelunasan yang lebih besar daripada yang dipinjamkan sebelumnya.
Dalam kehidupan ekonomi, riba merupakan bahaya. Diantaranya adalah (i) dapat menumbuhkan rasa permusuhan di antara individu, (ii) mendorong manusia untuk menimbun harta sambil menunggu pergerakan tingkat suku bunga, (iii) menimbulkan kesenjangan antara yang kaya dan yang miskin. Artinya, yang kaya akan semakin kaya dan yang miskin akan semakin miskin.
Selain itu, sistem riba juga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi. Realita yang ada, riba dapat menciptakan beberapa krisis yang pernah terjadi di dunia—sekarang menciptakan krisis yang melanda kapitalis (Amerika). Kemudian, mengakibatkan penyimpangan kegiatan produksi serta hanya memberikan kemaslahatan bagi para pelaku riba.
Seorang Yahudi pada tahun 1970 pernah mengatakan bahwa dengan adanya bunga, maka perputaran uang akan berpusat pada sekelompok orang saja. 80% dari uang yang ada berputar pada golongan mereka dan 20% untuk kelompok lainnya. Hal senada juga disampaikan oleh direktur bank di Jerman pada tahun 1953 di Damaskus. Dia mengatakan, dengan adanya mekanisme bunga, kekayaan akan berputar pada pelaku riba. Dalam sistem riba, pemilik uang akan selalu untung dalam setiap transaksi. Berbeda dengan peminjam, ia mempunyai potensi untung ataupun rugi. Dengan adanya bunga, dalam kalkulasi matematis akan kembali dan menguntungkan pemberi pinjaman dan ia akan selalu untung.
Oleh karena itu, Islam sangat tidak menyukai praktik riba bagaimanapun bentuknya. Hal tersebut akan merugikan diri sendiri dan orang lain, yang dalam hal ini pelaku ekonomi serta perekonomian itu sendiri. Sekali lagi, ekonomi Islam tidak mengenal sistem riba serta segala macam praktiknya.
Penutup
Krisis ekonomi global menyebabkan kesejahteraan masyarakat menurun. Banyak orang di-PHK karena perusahaan yang menaungi para pekerja itu collapse. Sistem ekonomi saat ini tidak mampu menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Jadi, apa lagi yang kita harapkan dari sistem ekonomi saat ini yang tidak menyejahterakan masyarakat—bahkan bukan menjadi solusi dalam krisis saat ini. Ekonomi Islam telah terbukti dan terlihat performanya yang baik dalam mengatasi krisis, juga menjadi solusi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam beberapa tahun belakangan ini. Ekonomi Islam sangat pro terhadap kesejahteraan seluruh manusia, dalam hal ini semua pelaku ekonomi. Sistem ekonomi Islam tidak menguntungkan salah satu pihak saja—seperti sistem ekonomi liberal, juga tidak menekan kebebasan pelaku ekonomi—seperti sistem ekonomi sosialis.
Ekonomi Islam saat ini (bisa) menjadi instrumen pemecah masalah ekonomi juga sekaligus bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dari ketiga penjabaran tersebut di atas, kiranya cukup dapat membuktikan bahwa ekonomi Islam itu sangat kuat dan stabil dalam menghadapi krisis saat ini. Memahami ekonomi Islam sekarang begitu penting, karena kita memang butuh suatu instrumen ekonomi baru untuk membereskan masalah krisis ekonomi global ini.
Dengan sistem mata uang dinar dan dirham, ekonomi Islam mampu bertahan dari laju inflasi. Mata uang ini sangat tidak rentan terhadap inflasi. Dinar dan dirham mampu meminimalisir tekanan inflasi yang menerpanya. Pertanyaan kemudian muncul, bagaimana jika sistem mata uang emas (dinar) dan perak (dirham)—dahulu digunakan pada zaman Rasulullah ini—diterapkan pada zaman sekarang?
Hal ini bukan sesuatu yang tidak mungkin. Mengaitkan nilai mata uang dengan nilai emas dan perak bukanlah hal yang sama sekali baru dalam ekonomi konvensional sekalipun. Ketika Perang Dunia II selesai dan Eropa tinggal puing-puing, Amerika Serikat (AS) mengambil inisiatif mendirikan International Bank of Reconstruction & Development (kini World Bank) untuk membangun kembali Eropa. Uangnya tentu saja dolar AS yang dapat ditukarkan dengan sepersekian gram emas. Dengan makin banyaknya dolar baru dicetak, seharusnya cadangan emas Federal Reserve AS juga meningkat. Namun, tidak demikian keadaannya. Apa boleh buat, lama kelamaan AS tidak lagi mampu mempertahankan sistem nilai dolar yang dikaitkan dengan standar emas. Itulah yang terjadi pada 1971, ketika Presiden Nixon mengumumkan lepasnya dolar dari standar emas dan berakhirnya Bretton Wood System.
Lebih lanjut, mengenai sektor non real. Walaupun perekonomian Islam sangat terbuka terhadap perekonomian global, tetap dampak negatif gejolak perekonomian global tidak dirasakan. Sebab, Islam dengan keras menolak segala jenis transaksi maya (melalui sektor non real seperti bursa saham dan pasar modal/pasar uang). Uang bukan komoditas. Praktek penggandaan uang dan spekulasi dilarang. Dengan penolakan ini, ekonomi Islam mampu mengatasi goncangan pasar.
Sistem perbankan Islam menjadikan suatu tatanan kehidupan yang jujur dan menciptakan suasana yang tidak monopolis. Hal ini juga menutup gap antara yang kaya dan miskin. Yang kaya tidak bisa lagi semakin kaya dan yang miskin tidak akan semakin miskin. Semuanya sama rata.
Seluruh negara di dunia harus mencermati perkembangan ekonomi Islam sekarang ini. Hal ini penting karena, sekali lagi, sudah bukan saatnya menerapkan sistem ekonomi liberal apalagi sosialis. Kesejahteraan masyarakat bisa lebih baik dengan diterapkannnya sistem ekonomi Islam.
Daftar Pustaka
1. Al Mishri, Abdul Sami’. 1990. Pilar-Pilar Ekonomi Islam. Terjemahan oleh Dimyaudin Djuwaini. 2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
2. Karim, Adiwarman Azwar. 2001. Ekonomi Islam Suatu Kajian Kontemporer. Jakarta: Gema Insani Press.
3. dkk, Nur Jaka. 2007. Intisari Ekonomi untuk SMA. Bandung: CV. Pustaka Setia.
4. Mubyarto. 2002. “Penerapan Ajaran Ekonomi Islam di Indonesia”(online), (http://www.ekonomirakyat.org/penerapan-ajaran-ekonomi-islam-di- indonesia.html/), diakses 24 April 2009.
5. Hanin Mazaya. 2008. “Robert Zoellick : Sistem Ekonomi Kapitalis Dunia Gagal”(online), (http://www.arrahmah.com/robert-zoellick-:-sistem-ekonomi- kapitalis-dunia-gagal.html/), diakses 25 April 2009.
6. Adi Wijaya. 2008. “Opini: Sistem Ekonomi Islam VS Sistem Ekonomi Kapitalis”(online), (http://qnoyzone.blogdetik.com/index.php/2008/10/31/opini-sistem-ekonomi- islam-vs-sistem-ekonomi-kapitalis/), diakses 25 April 2009.
Politik Ekonomi Islam dalam Mengatasi Krisis Dunia
OPINI | 26 February 2011 | 14:44 81 0 Nihil
________________________________________
Krisis ekonomi saat ini telah membuat para pemimpin dunia disibukkan oleh upaya mencari jalan keluar untuk menghentikan ‘pendarahan’ akibat kecelakaan fatal ekonomi keuangan mereka. Paket penyelamatan krisis pun telah disiapkan dengan total dana yang tidak tanggung-tanggung: 3.4 triliun dolar AS (AS: 700 miliar dolar; Inggris: 691 miliar dolar; Jerman: 680 miliar dolar; Irlandia: 544 miliar dolar; Prancis: 492 miliar dolar; Rusia: 200 miliar dolar dan negara-negara Asia: 80 miliar dolar! (Kompas 26/10).
Kenyataannya, sampai saat ini kondisi ekonomi masih terus memburuk. Indeks harga saham di bursa dunia terus terpuruk. Nilai mata uang di pasar uang terus bergejolak. Saluran dana untuk kredit ke sektor industri, infrastruktur dan perdagangan mulai macet. Proses produksi mandek. Dua puluh juta pekerja di seluruh dunia terancam di-PHK.
Penyebab Utama Krisis
Sebab utama krisis ekonomi bisa dilacak dari begitu berkuasanya sektor moneter/keuangan (sistem uang kertas [fiat money], perbankan ribawi, pasar modal, bursa saham, valas [pasar uang], dll) atas sektor riil (perdagangan dan jasa yang bersifat nyata). Sebelum krisis moneter di Asia tahun 1997/1998, misalnya, dalam satu hari, dana yang beredar dalam transaksi semu di pasar modal dan pasar uang dunia diperkirakan rata-rata sekitar 2-3 triliun dolar AS, atau dalam satu tahun sekitar 700 triliun dolar AS. Sebaliknya, arus perdagangan barang secara internasional dalam satu tahunnya hanya berkisar 7 triliun dolar AS. Jadi, arus uang 100 kali lebih cepat dibandingkan dengan arus barang (Republika, 18/8/2000).
Besaran transaksi yang terjadi di pasar uang dunia berjumlah 1,5 triliun dolar AS dalam sehari. Sebaliknya, besaran transaksi pada perdagangan dunia di sektor riil hanya 6 triliun dolar AS setiap tahunnya. Jadi, perbandingannya adalah 500:6. Dengan kata lain, transaksi di sektor riil hanya sekitar 1%-an dari sektor keuangan (Agustianto, 2007).
Sementara itu, menurut Kompas September 2007, uang yang beredar dalam transaksi valas (valuta asing) mencapai 1,3 triliun dalam setahun.
Data ini menunjukkan bahwa perkembangan cepat sektor keuangan semakin melejit meninggalkan sektor riil.
Sistem Ekonomi Islam Menjawab Segala Permasalahan
Sistem ekonomi Islam tidak sama dengan sistem-sistem ekonomi yang lain. Ia berbeda dengan sistem ekonomi yang lain. Ia bukan dari hasil ciptaan akal manusia seperti sistem kapitalis dan komunis. Ia adalah berpandukan wahyu dari Allah SWT.
Tiga Asas Sistem Ekonomi Islam
Dengan melakukan istiqra’ (penelahaan induktif) terhadap hukum-hukum syara’ yang menyangkut masalah ekonomi, akan dapat disimpulkan bahwa Sistem Ekonomi (an-nizham al-iqtishady) dalam Islam mencakup pembahasan yang menjelaskan bagaimana memperoleh harta kekayaan (barang dan jasa), bagaimana mengelola (mengkonsumsi dan mengembangkan) harta tersebut, serta bagaimana mendistribusikan kekayaan yang ada.
Sehingga ketika membahas ekonomi, Islam hanya membahas masalah bagaimana cara memperoleh kepemilikan harta kekayaan, bagaimana mengelola kepemilikan harta kekayaan yang telah dimiliki, serta cara mendistribusikan kekayaan tersebut di tengah-tengah masyarakat.
Atas dasar pandangan di atas, maka menurut Zallum (1983), Az-Zain (1981), An-Nabhaniy (1990), dan Abdullah (1990), asas-asas yang membangun sistem ekonomi Islam terdiri dari atas tiga asas, yakni :
(1)bagaimana harta diperoleh yakni menyangkut kepemilikan (al-milkiyah),
(2)bagaimana pengelolaan kepemilikan harta (tasharruf fil milkiyah), serta
(3)bagaimana distribusi kekayaan di tengah masyarakat (tauzi’ul tsarwah bayna an-naas).
Asas Pertama : Kepemilikan (Al-Milkiyyah)
An-Nabhaniy (1990) mengatakan, kepemilikan adalah izin As-Syari’ (Allah SWT) untuk memanfaatkan zat (benda) tertentu. Oleh karena itu, kepemilikan tersebut hanya ditentukan berdasarkan ketetapan dari As-Syari’ (Allah SWT) terhadap zat tersebut, serta sebab-sebab pemilikannya. Jika demikian, maka pemilikan atas suatu zat tertentu, tentu bukan semata berasal dari zat itu sendiri, ataupun dan karakter dasarnya yang memberikan manfaat atau tidak. Akan tetapi kepemilikan tersebut berasal dari adanya izin yang diberikan Allah SWT untuk memiliki zat tersebut, sehingga melahirkan akibatnya, yaitu adanya pemilikan atas zat tersebut menjadi sah menurut hukum Islam. Minuman keras dan babi, misalnya, dalam pandangan ekonomi kapitalis memang boleh dimiliki, karena zat bendanya memberikan manfaat-manfaat. Tetapi menurut Islam, minuman keras dan babi tidak boleh dimiliki, karena Allah SWT tidak memberikan izin kepada manusia untuk memilikinya.
Makna Kepemilikan
Kepemilikan (property), dari segi kepemilikan itu sendiri, pada hakikatnya merupakan milik Allah SWT, dimana Allah SWT adalah Pemilik kepemilikan tersebut sekaligus juga Allahlah sebagai Dzat Yang memiliki kekayaan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
‘Dan berikanlah kepada mereka, harta (milik) Allah yang telah Dia berikan kepada kalian.’ (QS. An-Nuur : 33)
Oleh karena itu, harta kekayaan itu adalah milik Allah semata. Kemudian Allah SWT telah menyerahkan harta kekayaan kepada manusia untuk diatur dan dibagikan kepada mereka. Karena itulah maka sebenarnya manusia telah diberi hak untuk memiliki dan menguasai harta tersebut. Sebagaimana firman-Nya :
‘Dan nafkahkanlah apa saja. yang kalian telah dijadikan (oleh Allah) berkuasa terhadapnya. ‘(QS. Al-Hadid : 7)
‘Dan (Allah) membanyakkan harta dan anak-anakmu.’ (QS. Nuh : 12)
Dari sinilah kita temukan, bahwa ketika Allah SWT menjelaskan tentang status asal kepemilikan harta kekayaan tersebut, Allah SWT menyandarkan kepada diri-Nya, dimana Allah SWT menyatakan ‘Maalillah’ (harta kekayaan milik Allah). Sementara ketika Allah SWT menjelaskan tentang perubahan kepemilikan kepada manusia, maka Allah menyandarkan kepemilikan tersebut kepada manusia. Dimana Allah SWT menyatakan dengan firman-Nya :
‘Maka berikanlah kepada mereka harta-hartanya. ‘(QS. An-Nisaa’ : 6)
‘Ambillah dari harta-harta mereka. ‘(QS. Al-Baqarah : 279)
‘Dan harta-harta yang kalian usahakan.’ (QS. At-Taubah : 24)
‘Dan hartanya tidak bermanfaat baginya, bila ia telah binasa.’ (QS. Al-Lail :11)
Ayat-ayat di atas menunjukkan bahwa hak milik yang telah diserahkan kepada manusia (istikhlaf) tersebut bersifat umum bagi setiap manusia secara keseluruhan. Sehingga manusia memiliki hak milik tersebut bukanlah sebagai kepemilikan bersifat rill. Sebab pada dasarnya manusia hanya diberi wewenang untuk menguasai hak milik tersebut. Oleh karena itu agar manusia benar-benar secara riil memiliki harta kekayaan (hak milik), maka Islam memberikan syarat yaitu harus ada izin dari Allah SWT kepada orang tersebut untuk memiliki harta kekayaan tersebut. Oleh karena itu, harta kekayaan tersebut hanya bisa dimiliki oleh seseorang apabila orang yang bersangkutan mendapat izin dari Allah SWT untuk memilikinya.
Oleh karena itu, Allah memberikan izin untuk memiliki beberapa zat dan melarang memiliki zat yang lain. Allah SWT juga telah memberikan izin terhadap beberapa transaksi serta melarang bentuk-bentuk transaksi yang lain. Allah SWT melarang seorang muslim untuk memiliki minuman keras dan babi, sebagaimana Allah SWT melarang siapa pun yang menjadi warga negara Islam untuk memiliki harta hasil riba dan perjudian. Tetapi Allah SWT memberi izin untuk melakukan jual-beli, bahkan menghalalkannya, disamping melarang dan mengharamkan riba.
Macam-Macam Kepemilikan
Zallum (1983); Az-Zain (1981); An-Nabhaniy (1990); Abdullah (1990) mengemukakan bahwa kepemilikan (property) menurut pandangan Islam dibedakan menjadi tiga kelompok, yaitu : (1). Kepemilikan individu (private property); (2) kepemilikan umum (collective property); dan (3) kepemilikan negara (state property).
1) Kepemilikan Individu (private property)
Kepemilikan individu adalah ketetapan hukum syara’ yang berlaku bagi zat ataupun manfaat (jasa) tertentu, yang memungkinkan siapa saja yang mendapatkannya untuk memanfaatkan barang tersebut, serta memperoleh kompensasi dari barang tersebut (jika barangnya diambil kegunaannya oleh orang lain seperti disewa, ataupun karena dikonsumsi untuk dihabiskan zatnya seperti dibeli). Oleh karena itu setiap orang bisa memiliki kekayaan dengan sebab-sebab (cara-cara) kepemilikan tertentu.
An-Nabhaniy (1990) mengemukakan, dengan mengkaji secara komprehemsif hukum-hukum syara’ yang menentukan pemilikan seseorang atas harta tersebut, maka akan nampak bahwa sebab-sebab kepemilikan tersebut terbatas pada lima sebab berikut ini :
(1) Bekerja.
(2) Warisan.
(3) Kebutuhan akan harta untuk mempertahankan hidup.
(4) Harta pemberian negara yang diberikan kepada rakyat.
(5) Harta-harta yang diperoleh oleh seseorang dengan tanpa mengeluarkan harta atau tenaga apapun.
2). Kepemilikan Umum (collective property)
Kepemilikan umum adalah izin As-Syari’ kepada suatu komunitas untuk sama-sama memanfaatkan benda. Benda-benda yang termasuk dalam kategori kepemilikan umum adalah benda-benda yang telah dinyatakan oleh Allah SWT dan Rasulullah saw bahwa benda-benda tersebut untuk suatu komunitas dimana mereka masing-masing saling membutuhkan. Berkaitan dengan pemilikan umum ini, hukum Islam melarang benda tersebut dikuasai hanya oleh seseorang akan sekelompok kecil orang. Dan pengertian di atas maka benda-benda yang termasuk dalam kepemilikan umum dapat dikelompokkan menjadi tiga kelompok :
a. Benda-benda yang merupakan fasilitas umum, dimana kalau tidak ada di dalam suatu negeri atau suatu komunitas, maka akan menyebabkan kesulitan hidup dan masyarakat akan berpencar ke sana kemari mencarinya
Yang merupakan fasilitas umum adalah apa saja yang dianggap sebagai kepentingan manusia secara umum. Rasulullah saw telah menjelaskan dalam sebuah hadits bagaimana sifat fasilitas umum tersebut. Dari lbnu Abbas, bahwa Nabi saw bersabda:
‘Kaum muslimin berserikat dalam tiga barang, yaitu air, padang rumput, dan api.’(HR. Abu Daud)
Anas ra meriwayatkan hadits dari lbnu Abbas ra. tersebut dengan menambahkan : “wa tsamanuhu haram” (dan harganya haram), yang berarti dilarang untuk diperjualbelikan. lbnu Majah juga meriwayatkan dari Abu Hurairah, bahwa Nabi saw bersabda :
‘Tiga hal yang tidak akan pemah dilarang (untuk dimiliki siapapun) yaitu air, padang rumput, dan api.’ (HR. Ibnu Majah).
Dalam hal ini terdapat dalil, bahwa manusia memang sama-sama membutuhkan air, padang rumput dan api, serta terdapat larangan bagi individu untuk memilikinya. Namun perlu ditegaskan disini bahwa sifat benda-benda yang menjadi fasilitas umum adalah adalah karena jumlahnya yang besar dan menjadi kebutuhan umum masyarakat. Namun jika jumlahnya terbatas seperti sumur-sumur kecil di perkampungan dan sejenisnya, maka dapat dimiliki oleh individu dan dalam kondisi demikian air sumur tersebut merupakan milik individu. Rasulullah saw telah membolehkan air di Thaif dan Khaibar untuk dimiliki oleh individu-individu penduduk.
Oleh karena itu jelaslah, bahwa sesuatu yang merupakan kepentingan umum adalah apa saja yang kalau tidak terpenuhi dalam suatu komunitas, apapun komunitasnya, semisal komunitas pedesaan, perkotaan, ataupun suatu negeri, maka komunitas tersebut akan bercerai-berai guna mendapatkannya. Oleh karena itu, benda tersebut dianggap sebagai fasilitas umum.
b. Benda-benda yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki hanya oleh individu secara perorangan.
Yang juga dapat dikategorikan sebagai kepemilikan umum adalah benda-benda yang sifat pembentukannya mencegah hanya dimiliki oleh pribadi. Hal ini karena benda-benda tersebut merupakan benda yang tercakup kemanfaatan umum (kelompok pertama di atas). Yang termasuk ke dalam kelompok ini adalah jalan raya, sungai, masjid dan fasilitas umum lainnya. Benda-benda ini dari segi bahwa merupakan fasilitas umum adalah hampir sama dengan kelompok pertama. Namun meskipun benda-benda tersebut seperti jenis yang pertama, namun benda-benda tersebut berbeda dengan kelompok yang pertama, dari segi sifatnya, bahwa benda tersebut tidak bisa dimiliki oleh individu. Barang-barang kelompok pertama dapat dimiliki oleh individu jika jumlahnya kecil dan tidak menjadi sumber kebutuhan suatu komunitas. Misalnya sumur air, mungkin saja dimiliki oleh individu, namun jika sumur air tersebut dibutuhkan oleh suatu komunitas maka individu tersebut dilarang memilikinya. Berbeda dengan jalan raya, mesjid, sungai dan lain-lain yang memang tidak mungkin dimiliki oleh individu.
Oleh karena itu, meskipun dalil hadits pada poin a di atas bisa diberlakukan pada kelompok b ini, yaitu sama-sama sebagai fasilitas umum, tetapi benda-benda kelompok kedua ini tidak bisa dimiliki individu. Ini meliputi jalan, sungai, laut, danau, tanah-tanah umum, teluk, selat dan sebagainya. Yang juga bisa disetarakan dengan hal-hal tadi adalah masjid, tempat-tempat penampungan, dan sebagainya.
c. Bahan tambang yang jumlahnya sangat besar : Bahan tambang dapat diklasifikasikan menjadi dua, yaitu bahan tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya, yang tidak termasuk berjumlah besar menurut ukuran individu, serta bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya. Barang tambang yang sedikit (terbatas) jumlahnya termasuk milik pribadi, serta boleh dimiliki secara pribadi, dan terhadap bahan tambang tersebut diberlakukan hukum rikaz (barang temuan), yang darinya harus dikeluarkan khumus, yakni 1/5 bagiannya (20%).
Adapun bahan tambang yang sangat banyak (hampir tidak terbatas) jumlahnya, yang tidak mungkin dihabiskan oleh individu, maka bahan tambang tersebut termasuk milik umum (collective property), dan tidak boleh dimiliki secara pribadi. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan hadits dari Abyadh bin Hamal, bahwa ia telah meminta kepada Rasulullah saw untuk dibolehkan mengelola sebuah tambang garam. Lalu Rasulullah saw memberikannya. Setelah ia pergi, ada seorang laki-laki dari majelis tersebut bertanya:
‘Wahai Rasulullah, tahukah engkau, apa yang engkau berikan kepadanya? Sesungguhnya engkau telah memberikan sesuatu bagaikan air yang mengalir.’ Rasulullah saw kemudian menarik kembali tambang tersebut darinya. (HR. At-Tirmidzi)
Hadits tersebut menyerupakan tambang garam dengan air yang mengalir, karena jumlahnya yang sangat besar. Hadits ini juga menjelaskan bahwa Rasulullah saw memberikan tambang garam kepada Abyadh bin Hamal yang menunjukkan kebolehan memiliki tambang. Namun tatkala beliau mengetahui bahwa tambang tersebut merupakan tambang yang mengalir (jumlahnya sangat besar), maka beliau mencabut pemberiannya dan melarang dimiliki oleh pribadi, karena tambang tersebut merupakan milik umum.
Ketetapan hukum ini, yakni ketetapan bahwa tambang yang sangat besar jumlahnya adalah milik umum, meliputi semua tambang, baik tambang yang nampak yang bisa diperoleh tanpa harus susah payah, yang bisa didapatkan oleh manusia, serta bisa mereka manfaatkan, semisal tambang garam, tambang batu mulia dan sebagainya; ataupun tambang yang berada di dalam perut bumi, yang tidak bisa diperoleh selain dengan kerja dan susah payah, semisal tambang emas, perak, besi, tembaga, timah, bauksit, marmer, dan sejenisnya. Baik berbentuk padat, semisal kristal ataupun berbentuk cair, semisal minyak bumi, maka semuanya adalah tambang yang termasuk dalam pengertian hadits di atas.
3). Kepemilikan Negara (state properti)
Harta-harta yang terrnasuk milik negara adalah harta yang merupakan hak seluruh kaum muslimin yang pengelolaannya menjadi wewenang negara, dimana negara dapat memberikan kepada sebagian warga negara, sesuai dengan kebijakannya. Makna pengelolaan oleh negara ini adalah adanya kekuasaan yang dimiliki negara untuk mengelolanya semisal harta fai’, kharaj, jizyah dan sebagainya.
Meskipun harta milik umum dan milik negara pengelolaannya dilakukan oleh negara, namun ada perbedaan antara kedua bentuk hak milik tersebut. Harta yang termasuk milik umum pada dasamya tidak boleh diberikan negara kepada siapapun, meskipun negara dapat membolehkan kepada orang-orang untuk mengambil dan memanfaatkannya. Berbeda dengan hak milik negara dimana negara berhak untuk memberikan harta tersebut kepada individu tertentu sesuai dengan kebijakan negara.
Sebagai contoh terhadap air, tambang garam, padang rumput, lapangan dan lain-lain tidak boleh sama sekali negara memberikannya kepada orang tertentu, meskipun semua orang boleh memanfaatkannya secara bersama-sama sesuai dengan keperluannya. Berbeda dengan harta kharaj yang boleh diberikan kepada para petani saja sedangkan yang lain tidak. Juga dibolehkan harta kharaj dipergunakan untuk keperluan belanja negara saja tanpa dibagikan kepada seorangpun.
Asas Kedua : Pengelolaan Kepemilikan (at-tasharruf fi al milkiyah)
Pengelolaan kepemilikan adalah sekumpulan tatacara (kaifiyah) –yang berupa hukum-hukum syara’– yang wajib dipegang seorang muslim tatkala ia memanfaatkan harta yang dimilikinya (Abdullah, 1990).
Mengapa seorang muslim wajib menggunakan cara-cara yang dibenarkan Asy Syari’ (Allah SWT) dalam mengelola harta miliknya? Sebab, harta dalam pandangan Islam pada hakikatnya adalah milik Allah SWT. Maka dari itu, ketika Allah telah menyerahkan kepada manusia untuk menguasai harta, artinya adalah hanya melalui izin-Nya saja seorang muslim akan dinilai sah memanfaatkan harta tersebut. Izin Allah itu terwujud dalam bentuk sekumpulan hukum-hukum syara’.
Walhasil, setiap muslim yang telah secara sah memiliki harta tertentu maka ia berhak memanfaatkan dan mengembangkan hartanya. Hanya saja dalam pengelolaan harta yang telah dimilikinya tersebut seorang ia wajib terikat dengan ketentuan-ketentuan hukum syara’ yang berkaitan dengan pengelolaan kepemilikan.
Secara garis besar, pengelolaan kepemilikan mencakup dua kegiatan. Pertama, pembelanjaan harta (infaqul mal). Kedua, pengembangan harta (tanmiyatul mal).
1) Pembelanjaan Harta
Pembelanjaan harta (infaqul mal) adalah pemberian harta tanpa adanya kompensasi (An-Nabhani, 1990). Dalam pembelanjaan harta milik individu yang ada, Islam memberikan tuntunan bahwa harta tersebut pertama-tama haruslah dimanfaatkan untuk nafkah wajib seperti nafkah keluarga, infak fi sabilillah, membayar zakat, dan lain-lain. Kemudian nafkah sunnah seperti sedekah, hadiah dan lain-lain. Baru kemudian dimanfaatkan untuk hal-hal yang mubah. Dan hendaknya harta tersebut tidak dimanfaatkan untuk sesuatu yang terlarang seperti untuk membeli barang-barang yang haram seperti minuman keras, babi, dan lain-lain.
2) Pengembangan Harta
Pengembangan harta (tanmiyatul mal) adalah kegiatan memperbanyak jumlah harta yang telah dimiliki (An-Nabhani, 1990). Seorang muslim yang ingin mengembangkan harta yang telah dimiliki, wajib terikat dengan ketentuan Islam berkaitan dengan pengembangan harta. Secara umum Islam telah memberikan tuntunan pengembangan harta melalui cara-cara yang sah seperti jual-beli, kerja sama syirkah yang Islami dalam bidang pertanian, perindustrian, maupun perdagangan. Selain Islam juga melarang pengembangan harta yang terlarang seperti dengan jalan aktivitas riba, judi, serta aktivitas terlarang lainnya.
Pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan umum (collective property) itu adalah hak negara, karena negara adalah wakil ummat. Meskipun menyerahkan kepada negara untuk mengelolanya, namun Allah SWT telah melarang negara untuk mengelola kepemilikan umum (collective property) tersebut dengan jalan menyerahkan penguasaannya kepada orang tertentu. Sementara mengelola dengan selain dengan cara tersebut diperbolehkan, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Adapun pengelolaan kepemilikan yang berhubungan dengan kepemilikan negara (state property) dan kepemilikan individu (private property), nampak jelas dalam hukum-hukum baitul mal serta hukum-hukum muamalah, seperti jual-beli, gadai (rahn), dan sebagainya. As Syari’ juga telah memperbolehkan negara dan individu untuk mengelola masing-masing kepemilikannya, dengan cara tukar menukar (mubadalah) atau diberikan untuk orang tertentu ataupun dengan cara lain, asal tetap berpijak kepada hukum-hukum yang telah dijelaskan oleh syara’.
Asas Ketiga : Distribusi Kekayaan di Tengah-tengah Manusia
Karena distribusi kekayaan termasuk masalah yang sangat penting, maka Islam memberikan juga berbagai ketentuan yang berkaitan dengan hal ini. Mekanisme distribusi kekayaan terwujud dalam sekumpulan hukum syara’ yang ditetapkan untuk menjamin pemenuhan barang dan jasa bagi setiap individu rakyat. Mekanisme ini dilakukan dengan mengikuti ketentuan sebab-sebab kepemilikan (misalnya, bekerja) serta akad-akad muamalah yang wajar (misalnya jual-beli dan ijarah).
Namun demikian, perbedaan potensi individu dalam masalah kemampuan dan pemenuhan terhadap suatu kebutuhan, bisa menyebabkan perbedaan distribusi kekayaan tersebut di antara mereka. Selain itu perbedaan antara masing-masing individu mungkin saja menyebabkan terjadinya kesalahan dalam distribusi kekayaan. Kemudian kesalahan tersebut akan membawa konsekuensi terdistribusikannya kekayaan kepada segelintir orang saja, sementara yang lain kekurangan, sebagaimana yang terjadi akibat penimbunan alat tukar yang fixed, seperti emas dan perak.
Oleh karena itu, syara’ melarang perputaran kekayaan hanya di antara orang-orang kaya namun mewajibkan perputaran tersebut terjadi di antara semua orang. Allah SWT berfirman :
‘Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara orang-orang kaya saja di antara kamu.’ (QS. Al-Hasyr : 7)
Di samping itu syara’ juga telah mengharamkan penimbunan emas dan perak (harta kekayaan) meskipun zakatnya tetap dikeluarkan. Dalam hal ini Allah SWT berfirman :
‘Dan orang-orang yang menyimpan emas dan perak dan tidak menafkahkannya pada jalan Allah, maka beritahukanlah kepada mereka, (bahwa mereka akan mendapat) siksa yang pedih.’ (QS. At-Taubah : 34)
Secara umum mekanisme yang ditempuh oleh sistem ekonomi Islam dikelompokkan menjadi dua, yakni mekanisme ekonomi dan mekanisme non-ekonomi.
Mekanisme Ekonomi
Mekanisme ekonomi adalah mekanisme melalui aktivitas ekonomi yang bersifat produktif, berupa berbagai kegiatan pengembangan harta (tanmiyatul mal) dalam akad-akad muamalah dan sebab-sebab kepemilikan (asbab at-tamalluk). Berbagai cara dala mekanisme ekonomi ini, antara lain :
1. Membuka kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya sebab-sebab kepemilikan dalam kepemilikan individu (misalnya, bekerja di sektor pertanian, industru, dan perdagangan)
2. Memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi berlangsungnya pengembangan harta (tanmiyah mal) melalui kegiatan investasi (misalnya, dengan syirkah inan, mudharabah, dan sebagainya).
3. Larangan menimbun harta benda (uang, emas, dan perak) walaupun telah dikeluarkan zakatnya. Harta yang ditimbun tidak akan berfungsi ekonomi. Pada gilirannya akan menghambat distribusi karena tidak terjadi perputaran harta.
4. Mengatasi peredaran dan pemusatan kekayaan di satu daerah tertentu saja misalnya dengan memeratakan peredaran modal dan mendorong tersebarnya pusat-pusat pertumbuhan.
5. Larangan kegiatan monopoli, serta berbagai penipuan yang dapat mendistorsi pasar.
6. Larangan judi, riba, korupsi, pemberian suap dan hadiah kepada penguasa. Semua ini ujung-ujungnya akan mengakumulasikan kekayaan pada pihak yang kuat semata (seperti penguasa atau konglomerat).
7. Memberikan kepada rakyat hak pemanfaatan barang-barang (SDA) milik umum (al- milkiyah al-amah) yang dikelola negara seperti hasil hutan, barang tambang, minyak, listrik, air dan sebagainya demi kesejahteraan rakyat.
Mekanisme Non-Ekonomi
Mekanisme non-ekonomi adalah mekanisme yang tidak melalui aktivitas ekonomi yang produktif, melainkan melalui aktivitas non-produktif, misalnya pemberian (hibah, shadakah, zakat, dll) atau warisan. Mekanisme non-ekonomi dimaksudkan untuk melengkapi mekanisme ekonomi. Yaitu untuk mengatasi distribusi kekayaan yang tidak berjalan sempurna jika hanya mengandalkan mekanisme ekonomi semata.
Mekanisme non-ekonomi diperlukan baik karena adanya sebab-sebab alamiah maupun non-alamiah. Sebab alamiah misalnya keadaan alam yang tandus, badan yang cacat, akal yang lemah atau terjadinya musibah bencana alam. Semua ini akan dapat menimbulkan terjadinya kesenjangan ekonomi dan terhambatnya distribusi kekayaan kepada orang-orang yang memiliki keadaan tersebut. Dengan mekanisme ekonomi biasa, distribusi kekayaan bisa tidak berjalan karena orang-orang yang memiliki hambatan yang bersifat alamiah tadi tidak dapat mengikuti kompetisi kegiatan ekonomi secara normal sebagaimana orang lain. Bila dibiarkan saja, orang-orang itu, termasuk mereka yang tertimpa musibah (kecelakaan, bencana alam dan sebagainya) makin terpinggirkan secara ekonomi. Mereka akan menjadi masyarakat yang rentan terhadap perubahan ekonomi. Bila terus berlanjut, bisa memicu munculnya problema sosial seperti kriminalitas (pencurian, perampokan), tindakan asusila (pelacuran) dan sebagainya, bahkan mungkin revolusi sosial.
Mekanisme non-ekonomi juga diperlukan karena adanya sebab-sebab non-alamiah, yaitu adanya penyimpangan mekanisme ekonomi. Penyimpangan mekanisme ekonomi ini jika dibiarkan akan bisa menimbulkan ketimpangan distribusi kekayaan. Bila penyimpangan terjadi, negara wajib menghilangkannya. Misalnya jika terjadi monopoli, hambatan masuk (barrier to entry) –baik administratif maupun non-adminitratif– dan sebagainya, atau kejahatan dalam mekanisme ekonomi (misalnya penimbunan), harus segera dihilangkan oleh negara.
Mekanisme non-ekonomi bertujuan agar di tengah masyarakat segera terwujud keseimbangan (al-tawazun) ekonomi, yang akan ditempuh dengan beberapa cara. Pendistribusian harta dengan mekanisme non-ekonomi antara lain adalah :
1. Pemberian harta negara kepada warga negara yang dinilai memerlukan.
2. Pemberian harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada para mustahik.
3. Pemberian infaq, sedekah, wakaf, hibah dan hadiah dari orang yang mampu kepada yang memerlukan.
4. Pembagian harta waris kepada ahli waris dan lain-lain.
Demikianlah gambaran sekilas tentang asas-asas sistem ekonomi Islam. Untuk memberikan pemahaman yang lebih luas dan dalam, maka perincian seluruh aspek yang dikemukakan di atas perlu dilakukan. Wallahu a’lam bishawab.[ ]
http://politik.kompasiana.com/2011/02/26/politik-ekonomi-islam-dalam-mengatasi-krisis-dunia/
0 komentar:
Posting Komentar